TANGISAN TANAH
Bambu-bambu runcing tegak tersandang
Ditopang mujahid, para pejuang
Entah kaum adat ataupun kaun paderi
Mereka tak peduli
Karena sama, saudara sebangsa
Terlalu bodoh untuk berperang sendiri
Sedang musuh tertawa-tawa
Berdiri di hadapan
Maka tatkala panggilan jihad menggema
Dipimpin Datuk Bandaro, Tuanku Imam Bonjol
Tanpa kenal takut, berjuang!
Berperang!
Bukan hanya hal fisik namun sampai aqidah
Pertahankan hak-hak asasi
Sudah bosan dengan penindasan, memang
Janji-janji kosong berbusa
Alunan dzikir terbang mencapai langit
Dan bermeditasi dengan alam
Tanah menangis
Meresap segala
Cinta, luka, ataupun darah
Pilu! Belasungkawa pada syuhada
Seolah enggan menimbun, mengubur
Dalam dasar yang gelap dan hampa
Namun mati bagi mujahid adalah penantian
Penantian undangan perak Jibril
Seketika itu tanah tertawa
Berbangga menjadi rumah abadi syuhada
Tapi sekali lagi tanah menangis
Ranah minang menjerit
Saat Benteng Bonjol direbut
Ketika Tuanku Imam Bonjol ditangkap, diasingkan
Hingga wafat di Manado
Sedang tanah hanya saksi bisu perjuangan
Tanah menangis dan kembali menangis
Seraya berdoa, “Kapankah perjuangan usai?”
Ara 150802
Kilas balik sejarah
Senin, 27 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar