Selasa, 18 November 2008

AKU

AKU

Makhluk malang…
Ada! Ucapku
Tiada dan sendiri

Bayanganku tertawa sengit
Benarkah?
Engkau masih punya aku

Engkau selalu kuikuti, ucap sehatku
Lantas melirik pun engkau enggan

Lama aku tenggelam
Gelap mata buta hati
Ya … aku masih punya engkau nurani
Bahkan di saat sendiri aku masih punya Tuhan
TanpaMu aku tiada

Ucapkan syukur! seru bayanganku
Tak hanya itu, mana bukti penghambaanmu? Tanya sehat
“Aku menjagamu sehat
Dan aku mengikuti nurani”
Ucapku tersenyum

Ara 181108
Saat sakit menghampiri, ajarkan kami untuk terus bersyukur, Ya Rabbi.

TENTANG MENULIS

Bukan Puisi (OPINI)
Tentang Menulis

Dari dulu cita-citaku adalah menjadi penulis. Sebenarnya itu baru disadari saat SMU saat saya hobi baca novel. Tiga ribu tanda tangan novel pertama yang saya baca. Hadiah dari guruku. Sejak itu saya jadi keranjingan baca. Mulai dari novel, cerpen, kisah detektif puisi dan roman. Apapun saya baca. Sambil diam-diam mengagumi hasil tulisan para penulis favoritku. Helvi, Sir arthur conan doyle dll. Berharap suatu saat saya bisa menulis buku. Apapun itu. Novel, cerpen atau kumpulan puisi.
Tapi semua berjalan lambat saat saya sadari usia yang hampir 22 ini belum ada karya tercipta. Saya mulai mepertanyakan keinginan. Cita-cita tak akan berjalan tanpa suatu kerja nyata. Maka kucoba perlahan selembar. Menulis apapun. Tapi kembali lagi banyak kendala di dalamnya saat menulis. Ketakutan akan kekosongan. Keperfectkan. Maklum orang melankolis tipe perfect. Sambil membandingkan mengapa orang bisa menerbitkan tulisan yang begitu bagus. Wah. Best seller. Kembali niat itu menjadi ciut. Tapi saya kembali berpikir kenapa harus membandingkan karya kita dengan orang lain. Bandingkan saja dengan hasil karya della sebelumnya. Yang masih kosong lalu ada. Bukahkan itu ada kemajuan. Aku tersenyum saat mendengar diriku bermonolog. Filosofis banget.he3. maka aku mencoba menulis. Aku menulis tanpa sebelumnya memikirkan pendapat orang dahulu. Intinya aku hanya ingin menyuarakan hatiku. Persoalan penilaian setelah karya itu ada. Konsisten3.

Ara 181108
Saat berpikir tentang hasil

Kamis, 13 November 2008

DARI SERPONG HINGGA TANAH ABANG

BUKAN PUISI (CERPEN)

Dari Serpong hingga Tanah Abang


Sudah sejak tadi ia mengamati kereta ini. Dingin berAC. Tempat duduknya yang hijau terlihat empuk. Sementara ia kehausan. Make upnya tersapu keringat. Wajar, sedari tadi ia menunggu. Ia berlagak mengacuhkan si express. Namun pikirannya terus mengembara. Sungguh asyik nian naik ini. Tapi akal rasionya kembali menyadarkannya. Sebab express berarti siap menanggung konsekuensi 10 kali lipat. Jauh dibanding dengan harga tiketnya yang hanya cenggo. Sekalipun ia tak pernah membeli tiket, ia tetap tahu kerugian yang akan ditanggung dirinya dan temannya jika naik express. Sebab mereka punya rutinitas bukan rekreasi.

Detik berlalu, ok berganti menit, hampir satu jam. Mana keretaku, Si hitam manis? Aduh lihatlah si AC semakin menggoda saja. Ia bersiul-siul memanggil. Pertanda ia siap melangkah dengan anggun dan angkuh.

Tut…tut…Jess..Jess. akhirnya keretaku datang, terseok-seok. Seolah kehabisan napas. Ia tampak memperihatinkan. Sisiknya mulai terkelupas dibandingkan si AC yang bersisik putih mengkilap. Tapi lihatlah aku tetap menunggumu, Sayang. Engkau tetap dinantikan. Entah itu oleh penumpang atau hanya pedagang asongan. Dikelilingi. Diserbu. Sedikit anarkis. Ada yang terjepit, terdorong atau tersenggol. Jatuh ada juga. Adu mulut sampai adu sikut. Peristiwa yang kerap sama menyambut kedatangan KRL (Kereta Listrik) Ekonomi hingga si hitam pun kembali melaju. Meninggalkan Serpong sampai Tanah Abang.

Gerbong 1

Akhirnya sampai juga di dalam. Sedikit hipoksia tak apa. Agak dehidrasi gampang. Tinggal rayu Bang Ujang. Minta segelas aqua asalkan dia sedang berbaik hati. Tapi biasanya jarang dikasih sebab baginya bisnis is bisnis. Seperti hari ini, “Abang bakal rugi kalo gini terus, Neng! Udah gopek aja. Gak ambil untung kok.”

Terpaksa aku merongoh selogam uang melati. Pelit! Mau gimana lagi, aku harus nyanyi. Masa belum nyanyi sudah haus. Huh!

“Cepetan, Don minumnya. Trus benerin dulu tuh lipstikmu. Luntur.” Kata Nike, sang gitaris sekaligus pemimpin grup ngamen kami.
“Sekun…sekun…sekuntum mawar merah yang kau berikan kepadaku di malam itu ku mengerti apa maksudmu…” suara sumbang Dona menggema di seluruh penjuru kereta.

Di Gerbong 2, lima belas menit kemudian

“Bu, anaknya geulis-geulis.” Ibu itu tersenyum bangga seolah berkata siapa dulu ibunya. “Sayang atuh kalo jerawatan. Lihat tuh matang-matang. Abang punya alat pelintir jerawat nih. Murah kok hanya dua ribu perak.” Promosi pedagang asongan.

“Kirain mau merayu ternyata mau dagang.” Sindir si anak.
Tak jauh dari kursi tersebut lelaki mirip Pak Raden merokok dengan santainya, sementara disebelahnya wanita berblazer rapih menutup hidungnya sambil terbatuk-batuk. Huh, katanya sejak berlaku UU baru merokok didenda. Mana?

Gerbang 3 saat kereta singgah di stsiun pertama

Suasana individualis terasa sekali. Sekelompok remaja tanggung. Entah celana biru atau abu-abu. Asyik duduk , tak ada yang mau beranjak. Walau disampingnya seorang nenek renta dan ibu hamil tua berdiri.

Di atas gerbong, suasana lebih bersahabat. “Acong, geser dikit tuh, Bapak mau duduk di sini” kata Abe. “Silakan, Pak” Untuk seorang bapak paruh baya yang tetap nekat mengikuti rutinitas kawula muda, Acong berbaik hati bergeser. “Hati-hati jatuh,Pak. Anginnya kencang!” tambahnya lagi.

Gerbong 4, menjelang stasiun Pondok Ranji

Seorang bapak yang tertidur pulas tak menyadari tangan jahil seorang pemuda yang mengambil dompetnya. “Lumayan untuk makan siang” ujar pemuda itu dalam hati sambil bergegas turun di stasiun Pondok Ranji.

Dari gerbong ke gerbong
Pak Slamet begitu namanya. Telah sepuluh tahun berjalan dari gerbong ke gerbong dengan seragam biru yang sama. Karcis-karcis begitu katanya. Ia begitu baik. Penumpang yang tak membeli karcis tetap boleh naik kereta. Sang penumpang pun hanya menyelipkan seribu rupiah di tangannya.

Bang Rodi lain lagi. Saat pagi ia bolak-balik menjualkan jeruknya 10 buah lima ribu. Siang hari jeruknya bisa ia jual 15 buah, lima ribu. Menjelang sore lain lagi. Jumlah jeruk bisa bertambah dari 20 hingga 30 dengan harga yang sama.

Dari Stasiun ke Stasiun

Penumpang tetap saja memaksakan naik. Tak peduli walaupun harus berdiri. Berdempetan. Grup ngamen Dona semakin bersemangat. Tabuhan gendangnya makin keras. Gitarnya juga. Dona pun harus meninggikan frekuensi nada. Pitch control salah. Ah bodo amat. Siapa peduli. Mereka hanya peduli receh-receh yang mengalir deras ke dalam kantong-kantong mereka. Namun Dona pun tahu semakin banyak orang berarti semakin tak dapat menghindari lagi tangan-tangan jahil yang lain. “Hei jangan kurang ajar ya!”bentaknya tiap kali dan tiap hari.

Stasiun Terakhir, Tanah Abang

Para penumpang saling sikut kembali untuk turun lebih cepat. Gerbong kembali kosong namun sekejap ritual penyembutan terjadi lagi. Gerbong kembali peuh. Si hitam yang kembali melaju menuju stasiun awal. Ibarat tombol reset para pengamen kereta kembali bernyanyi. Dengan gincu menyala, bedak tebal, wig pirang, baju aduhai, Dona kembali lagi menjajakan suaranya ke setiap gerbong. Ia tidak tampak kelelahan. Terbayang dibenaknya kiriman wesel dan sepucuk surat untuk orang tua dan kelima adiknya. “Bapak, Ibu, jangan khawatirkan anakmu ini. Doni telah mendapat pekerjaan di Jakarta.”

Ia tersenyum. Satu yang tak terbayang olehnya mengatakan bahwa nama Doni tergantikan menjadi Dona. Biarlah sebab orang tuanya mana tahu kerasnya hidup di sini, katanya.
“Sekun…sekun…sekuntum mawar merah yang kau berikan kepadaku di malam itu ku mengerti apa maksudmu…”sayup-sayup suara sumbang Doni eh Dona kembali menggema di seluruh penjuru kereta.

Ara 060606
“Saat mengamati sekeliling kereta”